
Penjelasan di atas adalah simulasi pada seseorang yang memiliki penghasilan Rp2.500.000,- per bulannya. Ada beberapa yang perlu diperhatikan. Pertama adalah biaya makan dan minum tersebut disimulasikan masak sendiri sehingga biayanya lebih sedikit yaitu sekitar Rp30.000,- per hari. Biaya itu cukup untuk satu keluarga jika itu berada di wilayah yang harga sembakonya tidak terlalu mahal contohnya di Purbalingga. Jika memang membeli di luar maka hanya sesekali saja. Kedua untuk kebersihan, biaya Rp300.000,- tersebut sudah termasuk kebersihan rumah dan kebersihan anggota keluarganya untuk mandi, mencuci, dan sebagainya.
Ketiga adalah biaya listrik dan air, biaya Rp200.000,- sebenarnya sudah cukup besar untuk ukuran rumah tangga. Apalagi yang biaya airnya gratis dari sungai atau sumber lain. Selanjutnya untuk pulsa/ kuota dengan biaya Rp200.000,- memang tidak bisa untuk wifi, sehingga biaya tersebut lebih bijak jika digunakan untuk paketan bulanan saja.
Selanjutnya yang cukup penting untuk diperhatikan adalah dana darurat, karena banyak sekali rumah tangga yang selama ini tidak memikirkannya. Banyak yang tidak sadar dana darurat akan sangat dibutuhkan di suatu hari, sehingga biaya tersebut dipakai untuk yang lain. Hal tersebut yang membuat rumah tangga akhirnya harus berhutang karena membutuhkan biaya darurat tersebut seperti untuk periksa ke dokter/ membeli obat, servis kendaraan, memperbaiki atap rumah yang bocor membeli sparepart elektronik rumah dan sebagainya. Sehingga sudah menjadi kewajiban bagi setiap rumah tangga menyisihkan uang untuk dana darurat setiap bulannya.
Sementara jika masih ada kelebihan uang/ sisa saldo maka bisa dikumpulkan untuk ditabung. Karena suatu saat bisa digunakan untuk investasi usaha yang bisa menjadi pendapatan pasif.
Terkadang penghasilan 2,5jt per bulan dengan 5jt per bulan sama-sama memiliki hutang atau neraca keuangannya per bulan minus (-). Kenapa bisa seperti itu? Bukankah penghasilan 5jt per bulan seharunya sudah cukup? Nah, jawabannya maka tergantung manajemen keuangannya. Banyak yang mengatakan jika penghasilan besar maka kebutuhan menjadi besar juga. Tapi penulis tidak setuju dengan itu, karena yang disebut kebutuhan dasar manusia seharusnya sama, kecuali ada kasus tertentu yang mengharuskan dia untuk selalu periksa ke dokter. Kembali pada prinsip yang disebut dengan “kebutuhan”, yang seharusnya datang dari internal tubuh/ dalam diri manusia, bukan keinginan berdasarkan apa yang dilihat, apa yang didengar, atau sebab lainnya yang dari luar tubuh manusia.
Kita perlu sekali untuk bisa membedakan apakah itu kebutuhan atau keinginan sebelum membelanjakan uang kita, apakah kita masih bisa bertahan hidup atau tidak jika tak membelinya, apakah organ tubuh kita baik-baik saja jika tak membelinya. Jika jawabannya adalah kebutuhan, tidak bisa bertahan hidup, organ tubuh akan rusak, maka kita wajib membelanjakan uang untuk hal tersebut.
Pada akhirnya, kita bukan lagi bertanya apakah cukup untuk memenuhi kebutuhan atau tidak, karena Allah ta’ala yang menjamin jika kita mau berusaha dan berdoa, akan tetapi apakah penggunaan hartanya berkah atau tidak yang bergantung pada keputusan yang kita ambil.
Penulis : Fajar Dwi Pamuji